RSS

Ketika Waktu Menggenang

Ada suara jerejak seperti pelepah dan ranting pohon yang diseret, ada derit suara timba yang ditarik diperigi. Kelopak mataku bergerak-gerak hendak menuruti telinga yang lebih dulu terjaga….lalu sunyi…..seorang laki-laki bertelanjang dada, dengan caping bambu dikepalanya sedang duduk menepi disebuah dangau ditepi sawah, sebelah tangannya menarik-narik seutas tali yang rupanya terhubung pada orang-orangan sawah yang terbuat dari gumpalan jerami yang dibentuk, sebelah tangannya lagi memegang sebuah buku yang sedang terbuka. Sesekali ada suara seperti siulan yang kasar, desahan serampangan yang keluar dari mulutnya sejalan dengan orang-orangan sawah yang bergerak-gerak, membuat takut segerombolan burung emprit yang berpijak pada pucuk-pucuk padi yang mencari celah untuk mencuri bulirnya. Namun mata lelaki itu, tekun tertuju pada buku ditangan satunya. Tiba-tiba….ia menoleh kepadaku lalu tersenyum…..kelopak mataku kembali bergerak-gerak, kali ini dibarengi kepalaku yang mencoba menjejak dan menerobos batas jagaku. Lalu kembali ada suara seperti air yang dijerang, ditingkahi suara desau angin yang membuat gemerisik rumpun bambu. Aku seperti mendapati tubuhku berbaring diranjang empuk kesayanganku di Surabaya, kuraba ruang kosong disampingku yang harusnya ada sepotong tubuh suamiku disana….namun tak kudapati….sunyi…..sekejap kudapati tubuhku terpental-pental dikursi penumpang kereta jurusan Surabaya-Jember, didepanku duduk seorang laki-laki yang rupanya serupa dengan lelaki yang kujumpai di dangau….dia tersenyum padaku….
Aku tersentak…nafasku berkejaran tak teratur, mengedarkan pandangan, mengumpulkan kesadaran….ini bukan ranjangku, bukan kamarku….aku melenguh seperti kerbau, menggeliatkan tubuh untuk mengendorkan urat yang tegang. Suara air terjerang, kusangka pasti dari dapur, aku menuju….seorang perempuan tua duduk pada sebuah dingklik kayu kecil, didepan sebuah tungku yang menyala, ia membelakangiku. Aku menyentuh bahunya dari belakang.
“eh, sudah bangun kau mar….sholatlah segera, sebentar lagi matahari mengintip”
Aku mengangguk, bergegas menuju perigi disamping rumah. Huh…airnya sedingin es, tak seperti air dirumah, yang selalu hangat setiap waktu, mau pagi buta, mau malam, tetap saja terasa hangat.
Seusai sholat, sholat yang terlambat….aku duduk dikursi pentil yang ada diberanda. Ah…kokoh nian ini kursi, dari aku kecil sampai sekarang, tak reot rangkanya, hanya warnanya yang tentu saja memudar, dan kulit besinya sudah banyak yang mengelupas, seingatku dulu kursi ini berwarna biru, namun sekarang berubah menjadi putih bening. Aku memandang kosong ke jalan aspal kecil yang membujur dihadapanku, tak banyak kendaraan maupun orang berlalu lalang. Tak seriuh dan tak sepadat di Surabaya, tentu saja…ini hanyalah sebuah kampung yang masih merangkak-rangkak mengejar segala ketertinggalan, ketertinggalan yang diam-diam aku syukuri dikarenakan rasa bosanku pada gedung-gedung pencakar langit yang berhimpitan dan udara yang selalu saja kelabu. Malah dalam hati, aku berharap kampungku tetaplah menjadi sebuah kampung yang jika pagi tiba, aroma tanah yang segar dan embun-embun yang merambati pucuk dedaunan menyebarkan aroma kesegaran yang melonggarkan setiap rongga tubuh. Yang jika senja datang, langit dipadati serombongan burung plekok yang membentuk formasi V terbang berjejer untuk kembali pulang kesarang. Yang jika malam tiba, suara orang mengaji di surau timbul tenggelam bersahutan lirih, dan kunang-kunang bisa dijumpai dengan mudah menyembul riang diantara kelopak-kelopak bunga sepatu. Aku tak berharap kampungku cepat bertransformasi menjadi sebuah perkotaan dengan segala kegaduhannya.
Aku menyesap secangkir kopi hitam, merasakan aromanya, lalu kehangatan yang mulai merambat dalam rongga dada. Suara kliningan kalung sapi menarik perhatianku, kudapati sebuah gerobak yang dihela seekor sapi melintas, diatas gerobak seorang lelaki paruh baya sehitam arang menjadi saisnya. Gerobak itu meninggalkan setumpuk tahi sapi yang jatuh berceceran seakan memberi jejak. Tak lama… kumbang tahi dan lalat hijau berebut tempat mengerubuti tumpukan tahi itu. aku mengalihkan pandangan untuk mengalihkan rasa jijik, karna tak terbiasa. Seorang perempuan sedikit muda, bersarung dan berkaus biru memanggul sekeranjang sayuran dikepalanya, ia menoleh dan mengangguk kepadaku….amiittt…..aku membalasnya dengan anggukan dan senyuman. Keramahan khas kampung yang tak lekang, adab yang mengajarkan untuk sekedar menyapa atau mengangguk jika melintas didepan rumah orang. Sejurus kemudian sebuah pick up hitam merayap dengan kecepatan sedang, didalamnya duduk dua orang… laki-perempuan…tanpa obrolan. Si lelaki yang duduk dibelakang kemudi, ketika tepat berada didepan rumah…menoleh….aku terkesiap, sepertinya tak asing dimataku, tatapan mata yang sangat familiar. Kurasa dia pun merasakan yang sama, dahinya mengerut, ujung alisnya beradu, sampai pick up nya menjauh tak lepas tatapannya ke arahku, perempuan disampingnya tak mengetahuinya, ia tetap duduk kaku menatap kedepan. Pick up itupun menghilang dibalik pepohonan perindang dilajur jalan….menyisakan degup yang muncul tiba-tiba.
“wak….”
“hmmm….”
“apa kabar si Yusuf..???” sunyi…tak ada jawaban, lalu derap langkah kaki perlahan mendekat. Perempuan pemilik kaki rapuh itu menjejalkan pantatnya di kursi pentil yang berada disebelahku.
“ku kira kau tak akan menanyakannya….enggan mungkin…”
“tadi kulihat laki-laki serupa dengan dia…”
“pakai motor, apa pick up?”
“pick up….”
“hitam…?”
Aku mengangguk, kujumput sepotong ubi jalar rebus yang masih mengepulkan asap disebuah piring seng yang terdapat di meja kecil disampingku. Uwak memang merebuskannya untukku, katanya mencabut dari kebun yang ada dibelakang rumah. Aroma ubi itu khas, dan rasanya sangat manis.
“anaknya sudah tiga sekarang Mar, sukses dia sekarang. Sawahnya banyak, belum lagi dua buah toko kelontong di pasar semanding…”
“kau ingat Haji saleh…juragan gabah di kampung krajan?? Dialah mertua Yusuf. Kau ingat pula Zubaidah, anak keenamnya, yang dulu kalau sekolah tak pernah bersisir rambutnya, dan kau bilang baunya seperti terasi dibakar….” aku dan uwak tergelak pelan.
“itulah istri Yusuf, Mar….” uwak menarik nafas panjang, dijumputnya selembar sirih yang lalu diatasnya ditaruh sejumput kapur sirih, pecahan biji pinang dan sedikit taburan cengkeh, digulungnya dengan sedemikian rupa lalu dijejalkannya kedalam mulutnya, suara kunyahan parau terdengar.
“meski tak kerap, sesekali Yusuf menengokku Mar…..kedatangannya selalu membawa buah tangan, tak enak hati aku jadinya. Sebagai imbalan, aku kerap menceritakan perihalmu Mar, meski tak sekalipun ia menanyakan…”. uwak menyemburkan cairan dari ludahnya, berwarna merah menyala.
“sebagai orang tua yang telah banyak menyesap ragam kehidupan, aku tahu Mar…sangat tahu…Yusuf tak pernah menyisihkanmu dalam hatinya”
“ah….sudahlah wak….masa lalu…”
“bagaimana dengan istrinya wak….pernahkah Yusuf membawanya kemari, untuk sekedar dikenalkan??”. Uwak menggelengkan kepalanya.
“kudengar, tiga tahun yang lalu Yusuf hendak menceraikan istrinya…” aku menoleh ke arah uwak yang tatapannya justru tertumpu pada setumpuk kayu kering yang tersusun rapi di para-para. Sejurus kemudian uwak menyemburkan cairan berwarna merah, meludahkannya tandas, membuat cipratan-cipratan merah ditanah. Lalu kembali menjejalkan segulung kecil tembakau kedalam mulutnya, digosok-gosokkanya tembakau itu keseluruh permukaan giginya.
“aku maklum….orang kampungpun maklum….tabiat istrinya seburuk rupanya. Aku tak habis pikir, apa yang Yusuf lihat dari wanita itu, padahal sedari muda sudah terang benar tabiatnya. Kusangka….dulu Yusuf menikahinya karena melarikan diri dari sesuatu, tapi entah apa….”. keriuhan menyela, keokan ayam betina yang terbirit-birit dikejar ayam jantan yang menanggung birahi, mengalihkan percakapan. Ayam betina itu memberontak ketika paruh ayam jantan mematuk kepalanya. Si betina meloncat dan terbang keatas tumpukan kayu dipara-para, sang jantan tak menyerah, disusulnya si betina…si betina tersudut lalu tak dapat berkutik ketika beban tubuh sang jantan menindih kuat tubuhnya.
“sudahlah wak…..tak baik membicarakan rumah tangga orang lain…”
“astaghfirullaahhh…..kau ni yang cari gara-gara, kenapa pula kau menanyakan Yusuf yang membuatku akhirnya tak dapat menjaga lidahku” uwak melemparkan kesalahan padaku, aku tergelak pelan.
“tandaskan kopimu, segeralah ke makam, tuntaskan keinginanmu menyesap kampung ini, sebelum kepulanganmu ke kota esok….” aku mengiyakan perkataan uwak, menyisakan cangkir dengan ampas kopi, lalu beranjak meninggalkan perempuan tua itu.
**********
Bukit hijau kecil itu masih menggunduk dibalik persawahan dan rimbunan pohon asam yang banyak tercecer di sepanjang jalan. Meski kudapati tak seterjal dulu, tapi keindahannya tetaplah tak dapat dipudarkan usia dan waktu. Dikaki bukit itulah kedua orang tuaku terbaring, bersama tubuh-tubuh tak bernyawa lainnya yang namanya hanya dikenali lewat batu-batu nisan yang telah lumutan.Tiga hari yang lalu orang tuaku menyambangiku lewat mimpi, meski hanya menyodorkan senyuman, namun ada semacam pertanda dengan makna tersembunyi yang kutangkap. Ada rasa bersalah yang lambat kusadari, bahwa sudah tiga tahun lebih aku tak menjenguk makam orang tuaku. Maka keesokan harinya aku cudak dari kantor dan pamit pada suamiku untuk pulang kampung dua hari saja, dengan tujuan menengok makam kedua orang tuaku.
Disinilah aku sekarang, setelah menaburkan irisan daun pandan bercampur dengan bunga kenanga, bunga gemitir dan bunga kantil diatas kedua pusara, aku takzim menundukkan kepala, memanjatkan doa kepada sang pencipta agar arwah kedua orang tuaku ditempatkan ditempat yang layak. Selesai berdoa, kuusap perlahan nisan putih yang memudar, mengharu biru dalam pendar sketsa wajah kedua orang tuaku. Tiba-tiba dari kejauhan kudengar suara deru sepeda motor melaju, suaranya mendekat, semakin mendekat, mendekat, lalu berhenti seperti tepat dibelakangku, terdengar suara motor dimatikan. Aku palingkan wajah mencari asal sumber suara, didepan pintu makam yang letaknya hanya sepelemparan batu dari tempatku jongkok, berdiri seorang laki-laki tegap dengan bertopi hitam. Aku tak mengenalnya, namun tatapan mata lelaki itu mengarah kepadaku….ya kepadaku, karena kulihat sekeliling tak tampak keberadaan orang lain di area pemakaman selain aku. Dan ketika lelaki itu membuka topinya….teranglah penglihatanku….darahku berdesir perlahan, dan aku sedikit mengumpat dalam hati. Kuhampiri laki-laki itu yang kini tengah bersandar pada sepeda motornya.
“kau kah itu Yusuf..???”
“apa kabar Mar….” suaranya tersangkut ditenggorokan, tingkahnya secanggung anak Tk yang baru pertama kali tampil kedepan, tangannya memilin-milin topi hitamnya. Aku tersenyum….sama kikuknya.
“tadi pagi waktu hendak kepasar, saat melintas didepan rumah uwak….kusangka ada yang silap pada penglihatanku, hatiku tak tenang ingin memastikan. Aku kembali ke rumah uwak kemudian untuk bertanya, dan uwak membenarkan bahwa pandanganku tak salah. Dan kesinilah aku menyusulmu….”.
Disisi kiri dekat pintu makam, ada sebuah tempat duduk semen setinggi lutut, yang sengaja dibuat untuk para peziarah yang ingin menikmati panorama bukit atau hamparan sawah yang menghijau seusai ziarah kubur. Panjang tempat duduk itu cukup untuk diduduki tiga atau empat orang, mirip halte namun tak beratap, dibawahnya…tepatnya disisi belakangnya, melajur selokan kecil yang airnya tak menutupi isi dan dasar selokan, seperti aquarium sehabis dibersihkan. Disanalah kami duduk, sedikit membuat jarak, sehasta mungkin….
“kira-kira 20 tahun ya suf….??” laki-laki itu tak menjawabku, kucuri pandang lewat ekor mataku, tak banyak perubahan yang kudapat, mungkin sedikit lemak yang menggantung di pipi dan perutnya, namun justru itu membuatnya kelihatan lebih segar daripada yang kujumpai dalam mimpi.
“berapa anakmu sekarang, Mar?”
“dua…”
“kenapa tak kau ajak anak dan suamimu ?…aku ingin mengenalnya..”
“aku hanya sekejap, esok pagi sudah balik lagi…”. lelaki itu memandangku, mengerjap…lalu bangkit.
“aku ingin menunjukkan sesuatu padamu, mumpung kau disini….mumpung kita diberi kesempatan untuk bertemu, yang mungkin tak kan pernah lagi”. ia meraih tanganku, sedikit menyeretku untuk mengikutinya. Aku menepis genggamannya perlahan…mata kami saling beradu….diam…lalu ia meneruskan langkahnya, dan aku mengekor dibelakangnya. Kami melewati beberapa pematang sawah yang arahnya ketimur, sedikit berbelok untuk melingkari bukit. Setiba dibawah pohon asam yang besarnya dua kali lipat pelukan orang dewasa, ada bayangan dua remaja tanggung…laki perempuan….duduk bertumpu pada akarnya yang mencuat keluar. Si lelaki menyelipkan setangkai bunga bakung pada lipatan rambut sebelah kiri wanitanya….wajah lelaki remaja itu serupa Yusuf, dan wanitanya serupa denganku. Lalu kemudian bayangan remaja itu bias dan pecah, terberai oleh hembusan angin yang tiba-tiba berdesir menerpa wajahku. Ku terka Yusuf pun melihat bayangan yang sama, ada helaan nafas yang berat tersendat-sendat dari rongga hidungnya. Yusuf tak bersuara….aku menelan ludahku perlahan.
Kami terus melanjutkan perjalanan ke arah timur, dalam diam. Kira-kira lima puluh langkah, tibalah kami pada tanah lapang yang ketika kuperhatikan letaknya berada diantara bukit dan jalan raya.
“Masih ingat tempat ini Mar..?”
“ya….tempat kita dulu kerap menghabiskan waktu seusai Madrasah. Benteng-bentengan, sodor pasang, kasti….” aku tergelak mengingat semua.
“sekarang ini tanahku Mar….”
“sukses kau sekarang Suf….”
“tidak….aku terpuruk, pengecut, pecundang…”Yusuf menghentak sebatang rumput dengan kasar, meremasnya, lalu membuang mukanya dariku.
“ketika kau tak lagi membalas surat-suratku Mar, aku bertekad selepas SMA akan menyusulmu kekota. Namun tak kudapati kau disana, kata tetanggamu yang berwajah bulat itu, kau telah pindah. Aku kebingungan, tersesat dalam rimba kota yang sama sekali tak pernah kukenal. Berbekal ijasah SMA ku, aku mencoba bertahan dikota, mengais pekerjaan sambil berharap jejakmu dapat kutemukan. Namun kau seperti menghilang ditelan bumi, dan kota tak memperlakukanku dengan baik. Aku frustasi Mar….ke-tidakramahan kota masih bisa kutanggung, namun menyadari kehilanganmu untuk selamanya membuatku merasa terdepak dan tak diinginkan oleh dunia…”
Aku hanya mampu diam, tak dapat kujelaskan bagaimana dulu kudapati kedua orang tuaku menyita dan membakar surat-surat yang Yusuf kirimkan.
“aku kembali kekampung Mar, kuyu seperti seorang panglima yang kehilangan panji dan dipermalukan diarena pertempuran. Di kampung aku mengolah sebidang tanah warisan emak yang tak seberapa, merintis usaha kelontong kecil-kecilan. Lalu ada seorang Haji kaya raya yang mencari lelaki untuk dijadikan menantunya, untuk menutup aib yang dicorengkan anak perempuannya didahinya. Aku terima Mar, karena bagiku hidupku adalah kehampaan, dan jiwaku sudah lama mati…”. suara Yusuf bergetar….ada setitik air disudut mataku yang kutahan agar tak tumpah. Yusuf meraih pundakku, saling berhadapan, saling menatap lekat…..
“aku membeli tanah ini Mar, semata untuk mengekalkan kenangan akan kamu yang masih tersisa. Karna sampai saat inipun tak beres-beres ingatanku untuk menghapusmu. Ditanah ini aku berencana membangun sekolah Taman kanak-kanak, menampung bocah tak berpunya, tanpa memungut iuran wajib. Seperti cita-citamu dulu Mar…..”. bulir-bulir air itu tak mampu kutahan lagi, ia luruh perlahan menelanjangi perasaanku yang kututup-tutupi. Ibu jari dari sebuah tangan kasar menghapusnya….sunyi….aku tak ingin memperpanjangnya.
Ketika senja hampir usai, aku beranjak meninggalkan Yusuf, laki-laki itu terjejer dibelakangku dengan segala diamnya, sepanjang jalan pulang tak ada percakapan, seakan tak ada udara yang dihirup dan dilepas. Jika sesekali kakiku terpeleset ketika melintasi pematang, tangan Yusuf menyanggaku…sesaat, kami saling menepis….diam….
Sesampai didepan pintu pemakaman, dimana motor Yusuf terparkir semula. Aku hanya bisa menyeru namanya perlahan…
“Suf….ak…” sebuah bibir melumat ujung bibirku lembut, menghentikan kata yang ingin kuujar. Untuk sesaat jantungku serasa berhenti berdetak.
“tak usah kau katakan apa-apa Mar….aku tahu semua adalah masa lalu, aku hanya ingin kau tahu bahwa aku tak pernah berhenti mencintaimu, sampai saat ini’
“maaf Mar, aku tak bisa mengantarmu pulang….aku tak ingin orang kampung mendapat bahan obrolan untuk mereka gunjingkan, tahu sendiri tabiat mereka. Salam ya buat uwak…..salam juga buat keluargamu dikota”. Kami berpisah….dalam ketercanggungan….sama seperti tadi ketika kami kembali bertemu. Motornya menjauh meninggalkanku.
Keesokan paginya, sebuah becak mengantarku ke terminal. Ketika melintas didepan sebuah toko kelontong yang besar, ditengah riuhnya suasana pasar. Seorang laki-laki memanggul bocah perempuan kecil dipundaknya. Laki-laki itu melambai dan tersenyum padaku….aku membalasnya, lalu membuang pandangan kedepan dan tak lagi menoleh kebelakang. Suara derit becak terngiang-ngiang ditelingaku, berkejaran dengan deru nafas sang pengayuh yang tersendat-sendat karena beban muatan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar