RSS

Ketika Waktu Menggenang

Ada suara jerejak seperti pelepah dan ranting pohon yang diseret, ada derit suara timba yang ditarik diperigi. Kelopak mataku bergerak-gerak hendak menuruti telinga yang lebih dulu terjaga….lalu sunyi…..seorang laki-laki bertelanjang dada, dengan caping bambu dikepalanya sedang duduk menepi disebuah dangau ditepi sawah, sebelah tangannya menarik-narik seutas tali yang rupanya terhubung pada orang-orangan sawah yang terbuat dari gumpalan jerami yang dibentuk, sebelah tangannya lagi memegang sebuah buku yang sedang terbuka. Sesekali ada suara seperti siulan yang kasar, desahan serampangan yang keluar dari mulutnya sejalan dengan orang-orangan sawah yang bergerak-gerak, membuat takut segerombolan burung emprit yang berpijak pada pucuk-pucuk padi yang mencari celah untuk mencuri bulirnya. Namun mata lelaki itu, tekun tertuju pada buku ditangan satunya. Tiba-tiba….ia menoleh kepadaku lalu tersenyum…..kelopak mataku kembali bergerak-gerak, kali ini dibarengi kepalaku yang mencoba menjejak dan menerobos batas jagaku. Lalu kembali ada suara seperti air yang dijerang, ditingkahi suara desau angin yang membuat gemerisik rumpun bambu. Aku seperti mendapati tubuhku berbaring diranjang empuk kesayanganku di Surabaya, kuraba ruang kosong disampingku yang harusnya ada sepotong tubuh suamiku disana….namun tak kudapati….sunyi…..sekejap kudapati tubuhku terpental-pental dikursi penumpang kereta jurusan Surabaya-Jember, didepanku duduk seorang laki-laki yang rupanya serupa dengan lelaki yang kujumpai di dangau….dia tersenyum padaku….
Aku tersentak…nafasku berkejaran tak teratur, mengedarkan pandangan, mengumpulkan kesadaran….ini bukan ranjangku, bukan kamarku….aku melenguh seperti kerbau, menggeliatkan tubuh untuk mengendorkan urat yang tegang. Suara air terjerang, kusangka pasti dari dapur, aku menuju….seorang perempuan tua duduk pada sebuah dingklik kayu kecil, didepan sebuah tungku yang menyala, ia membelakangiku. Aku menyentuh bahunya dari belakang.
“eh, sudah bangun kau mar….sholatlah segera, sebentar lagi matahari mengintip”
Aku mengangguk, bergegas menuju perigi disamping rumah. Huh…airnya sedingin es, tak seperti air dirumah, yang selalu hangat setiap waktu, mau pagi buta, mau malam, tetap saja terasa hangat.
Seusai sholat, sholat yang terlambat….aku duduk dikursi pentil yang ada diberanda. Ah…kokoh nian ini kursi, dari aku kecil sampai sekarang, tak reot rangkanya, hanya warnanya yang tentu saja memudar, dan kulit besinya sudah banyak yang mengelupas, seingatku dulu kursi ini berwarna biru, namun sekarang berubah menjadi putih bening. Aku memandang kosong ke jalan aspal kecil yang membujur dihadapanku, tak banyak kendaraan maupun orang berlalu lalang. Tak seriuh dan tak sepadat di Surabaya, tentu saja…ini hanyalah sebuah kampung yang masih merangkak-rangkak mengejar segala ketertinggalan, ketertinggalan yang diam-diam aku syukuri dikarenakan rasa bosanku pada gedung-gedung pencakar langit yang berhimpitan dan udara yang selalu saja kelabu. Malah dalam hati, aku berharap kampungku tetaplah menjadi sebuah kampung yang jika pagi tiba, aroma tanah yang segar dan embun-embun yang merambati pucuk dedaunan menyebarkan aroma kesegaran yang melonggarkan setiap rongga tubuh. Yang jika senja datang, langit dipadati serombongan burung plekok yang membentuk formasi V terbang berjejer untuk kembali pulang kesarang. Yang jika malam tiba, suara orang mengaji di surau timbul tenggelam bersahutan lirih, dan kunang-kunang bisa dijumpai dengan mudah menyembul riang diantara kelopak-kelopak bunga sepatu. Aku tak berharap kampungku cepat bertransformasi menjadi sebuah perkotaan dengan segala kegaduhannya.
Aku menyesap secangkir kopi hitam, merasakan aromanya, lalu kehangatan yang mulai merambat dalam rongga dada. Suara kliningan kalung sapi menarik perhatianku, kudapati sebuah gerobak yang dihela seekor sapi melintas, diatas gerobak seorang lelaki paruh baya sehitam arang menjadi saisnya. Gerobak itu meninggalkan setumpuk tahi sapi yang jatuh berceceran seakan memberi jejak. Tak lama… kumbang tahi dan lalat hijau berebut tempat mengerubuti tumpukan tahi itu. aku mengalihkan pandangan untuk mengalihkan rasa jijik, karna tak terbiasa. Seorang perempuan sedikit muda, bersarung dan berkaus biru memanggul sekeranjang sayuran dikepalanya, ia menoleh dan mengangguk kepadaku….amiittt…..aku membalasnya dengan anggukan dan senyuman. Keramahan khas kampung yang tak lekang, adab yang mengajarkan untuk sekedar menyapa atau mengangguk jika melintas didepan rumah orang. Sejurus kemudian sebuah pick up hitam merayap dengan kecepatan sedang, didalamnya duduk dua orang… laki-perempuan…tanpa obrolan. Si lelaki yang duduk dibelakang kemudi, ketika tepat berada didepan rumah…menoleh….aku terkesiap, sepertinya tak asing dimataku, tatapan mata yang sangat familiar. Kurasa dia pun merasakan yang sama, dahinya mengerut, ujung alisnya beradu, sampai pick up nya menjauh tak lepas tatapannya ke arahku, perempuan disampingnya tak mengetahuinya, ia tetap duduk kaku menatap kedepan. Pick up itupun menghilang dibalik pepohonan perindang dilajur jalan….menyisakan degup yang muncul tiba-tiba.
“wak….”
“hmmm….”
“apa kabar si Yusuf..???” sunyi…tak ada jawaban, lalu derap langkah kaki perlahan mendekat. Perempuan pemilik kaki rapuh itu menjejalkan pantatnya di kursi pentil yang berada disebelahku.
“ku kira kau tak akan menanyakannya….enggan mungkin…”
“tadi kulihat laki-laki serupa dengan dia…”
“pakai motor, apa pick up?”
“pick up….”
“hitam…?”
Aku mengangguk, kujumput sepotong ubi jalar rebus yang masih mengepulkan asap disebuah piring seng yang terdapat di meja kecil disampingku. Uwak memang merebuskannya untukku, katanya mencabut dari kebun yang ada dibelakang rumah. Aroma ubi itu khas, dan rasanya sangat manis.
“anaknya sudah tiga sekarang Mar, sukses dia sekarang. Sawahnya banyak, belum lagi dua buah toko kelontong di pasar semanding…”
“kau ingat Haji saleh…juragan gabah di kampung krajan?? Dialah mertua Yusuf. Kau ingat pula Zubaidah, anak keenamnya, yang dulu kalau sekolah tak pernah bersisir rambutnya, dan kau bilang baunya seperti terasi dibakar….” aku dan uwak tergelak pelan.
“itulah istri Yusuf, Mar….” uwak menarik nafas panjang, dijumputnya selembar sirih yang lalu diatasnya ditaruh sejumput kapur sirih, pecahan biji pinang dan sedikit taburan cengkeh, digulungnya dengan sedemikian rupa lalu dijejalkannya kedalam mulutnya, suara kunyahan parau terdengar.
“meski tak kerap, sesekali Yusuf menengokku Mar…..kedatangannya selalu membawa buah tangan, tak enak hati aku jadinya. Sebagai imbalan, aku kerap menceritakan perihalmu Mar, meski tak sekalipun ia menanyakan…”. uwak menyemburkan cairan dari ludahnya, berwarna merah menyala.
“sebagai orang tua yang telah banyak menyesap ragam kehidupan, aku tahu Mar…sangat tahu…Yusuf tak pernah menyisihkanmu dalam hatinya”
“ah….sudahlah wak….masa lalu…”
“bagaimana dengan istrinya wak….pernahkah Yusuf membawanya kemari, untuk sekedar dikenalkan??”. Uwak menggelengkan kepalanya.
“kudengar, tiga tahun yang lalu Yusuf hendak menceraikan istrinya…” aku menoleh ke arah uwak yang tatapannya justru tertumpu pada setumpuk kayu kering yang tersusun rapi di para-para. Sejurus kemudian uwak menyemburkan cairan berwarna merah, meludahkannya tandas, membuat cipratan-cipratan merah ditanah. Lalu kembali menjejalkan segulung kecil tembakau kedalam mulutnya, digosok-gosokkanya tembakau itu keseluruh permukaan giginya.
“aku maklum….orang kampungpun maklum….tabiat istrinya seburuk rupanya. Aku tak habis pikir, apa yang Yusuf lihat dari wanita itu, padahal sedari muda sudah terang benar tabiatnya. Kusangka….dulu Yusuf menikahinya karena melarikan diri dari sesuatu, tapi entah apa….”. keriuhan menyela, keokan ayam betina yang terbirit-birit dikejar ayam jantan yang menanggung birahi, mengalihkan percakapan. Ayam betina itu memberontak ketika paruh ayam jantan mematuk kepalanya. Si betina meloncat dan terbang keatas tumpukan kayu dipara-para, sang jantan tak menyerah, disusulnya si betina…si betina tersudut lalu tak dapat berkutik ketika beban tubuh sang jantan menindih kuat tubuhnya.
“sudahlah wak…..tak baik membicarakan rumah tangga orang lain…”
“astaghfirullaahhh…..kau ni yang cari gara-gara, kenapa pula kau menanyakan Yusuf yang membuatku akhirnya tak dapat menjaga lidahku” uwak melemparkan kesalahan padaku, aku tergelak pelan.
“tandaskan kopimu, segeralah ke makam, tuntaskan keinginanmu menyesap kampung ini, sebelum kepulanganmu ke kota esok….” aku mengiyakan perkataan uwak, menyisakan cangkir dengan ampas kopi, lalu beranjak meninggalkan perempuan tua itu.
**********
Bukit hijau kecil itu masih menggunduk dibalik persawahan dan rimbunan pohon asam yang banyak tercecer di sepanjang jalan. Meski kudapati tak seterjal dulu, tapi keindahannya tetaplah tak dapat dipudarkan usia dan waktu. Dikaki bukit itulah kedua orang tuaku terbaring, bersama tubuh-tubuh tak bernyawa lainnya yang namanya hanya dikenali lewat batu-batu nisan yang telah lumutan.Tiga hari yang lalu orang tuaku menyambangiku lewat mimpi, meski hanya menyodorkan senyuman, namun ada semacam pertanda dengan makna tersembunyi yang kutangkap. Ada rasa bersalah yang lambat kusadari, bahwa sudah tiga tahun lebih aku tak menjenguk makam orang tuaku. Maka keesokan harinya aku cudak dari kantor dan pamit pada suamiku untuk pulang kampung dua hari saja, dengan tujuan menengok makam kedua orang tuaku.
Disinilah aku sekarang, setelah menaburkan irisan daun pandan bercampur dengan bunga kenanga, bunga gemitir dan bunga kantil diatas kedua pusara, aku takzim menundukkan kepala, memanjatkan doa kepada sang pencipta agar arwah kedua orang tuaku ditempatkan ditempat yang layak. Selesai berdoa, kuusap perlahan nisan putih yang memudar, mengharu biru dalam pendar sketsa wajah kedua orang tuaku. Tiba-tiba dari kejauhan kudengar suara deru sepeda motor melaju, suaranya mendekat, semakin mendekat, mendekat, lalu berhenti seperti tepat dibelakangku, terdengar suara motor dimatikan. Aku palingkan wajah mencari asal sumber suara, didepan pintu makam yang letaknya hanya sepelemparan batu dari tempatku jongkok, berdiri seorang laki-laki tegap dengan bertopi hitam. Aku tak mengenalnya, namun tatapan mata lelaki itu mengarah kepadaku….ya kepadaku, karena kulihat sekeliling tak tampak keberadaan orang lain di area pemakaman selain aku. Dan ketika lelaki itu membuka topinya….teranglah penglihatanku….darahku berdesir perlahan, dan aku sedikit mengumpat dalam hati. Kuhampiri laki-laki itu yang kini tengah bersandar pada sepeda motornya.
“kau kah itu Yusuf..???”
“apa kabar Mar….” suaranya tersangkut ditenggorokan, tingkahnya secanggung anak Tk yang baru pertama kali tampil kedepan, tangannya memilin-milin topi hitamnya. Aku tersenyum….sama kikuknya.
“tadi pagi waktu hendak kepasar, saat melintas didepan rumah uwak….kusangka ada yang silap pada penglihatanku, hatiku tak tenang ingin memastikan. Aku kembali ke rumah uwak kemudian untuk bertanya, dan uwak membenarkan bahwa pandanganku tak salah. Dan kesinilah aku menyusulmu….”.
Disisi kiri dekat pintu makam, ada sebuah tempat duduk semen setinggi lutut, yang sengaja dibuat untuk para peziarah yang ingin menikmati panorama bukit atau hamparan sawah yang menghijau seusai ziarah kubur. Panjang tempat duduk itu cukup untuk diduduki tiga atau empat orang, mirip halte namun tak beratap, dibawahnya…tepatnya disisi belakangnya, melajur selokan kecil yang airnya tak menutupi isi dan dasar selokan, seperti aquarium sehabis dibersihkan. Disanalah kami duduk, sedikit membuat jarak, sehasta mungkin….
“kira-kira 20 tahun ya suf….??” laki-laki itu tak menjawabku, kucuri pandang lewat ekor mataku, tak banyak perubahan yang kudapat, mungkin sedikit lemak yang menggantung di pipi dan perutnya, namun justru itu membuatnya kelihatan lebih segar daripada yang kujumpai dalam mimpi.
“berapa anakmu sekarang, Mar?”
“dua…”
“kenapa tak kau ajak anak dan suamimu ?…aku ingin mengenalnya..”
“aku hanya sekejap, esok pagi sudah balik lagi…”. lelaki itu memandangku, mengerjap…lalu bangkit.
“aku ingin menunjukkan sesuatu padamu, mumpung kau disini….mumpung kita diberi kesempatan untuk bertemu, yang mungkin tak kan pernah lagi”. ia meraih tanganku, sedikit menyeretku untuk mengikutinya. Aku menepis genggamannya perlahan…mata kami saling beradu….diam…lalu ia meneruskan langkahnya, dan aku mengekor dibelakangnya. Kami melewati beberapa pematang sawah yang arahnya ketimur, sedikit berbelok untuk melingkari bukit. Setiba dibawah pohon asam yang besarnya dua kali lipat pelukan orang dewasa, ada bayangan dua remaja tanggung…laki perempuan….duduk bertumpu pada akarnya yang mencuat keluar. Si lelaki menyelipkan setangkai bunga bakung pada lipatan rambut sebelah kiri wanitanya….wajah lelaki remaja itu serupa Yusuf, dan wanitanya serupa denganku. Lalu kemudian bayangan remaja itu bias dan pecah, terberai oleh hembusan angin yang tiba-tiba berdesir menerpa wajahku. Ku terka Yusuf pun melihat bayangan yang sama, ada helaan nafas yang berat tersendat-sendat dari rongga hidungnya. Yusuf tak bersuara….aku menelan ludahku perlahan.
Kami terus melanjutkan perjalanan ke arah timur, dalam diam. Kira-kira lima puluh langkah, tibalah kami pada tanah lapang yang ketika kuperhatikan letaknya berada diantara bukit dan jalan raya.
“Masih ingat tempat ini Mar..?”
“ya….tempat kita dulu kerap menghabiskan waktu seusai Madrasah. Benteng-bentengan, sodor pasang, kasti….” aku tergelak mengingat semua.
“sekarang ini tanahku Mar….”
“sukses kau sekarang Suf….”
“tidak….aku terpuruk, pengecut, pecundang…”Yusuf menghentak sebatang rumput dengan kasar, meremasnya, lalu membuang mukanya dariku.
“ketika kau tak lagi membalas surat-suratku Mar, aku bertekad selepas SMA akan menyusulmu kekota. Namun tak kudapati kau disana, kata tetanggamu yang berwajah bulat itu, kau telah pindah. Aku kebingungan, tersesat dalam rimba kota yang sama sekali tak pernah kukenal. Berbekal ijasah SMA ku, aku mencoba bertahan dikota, mengais pekerjaan sambil berharap jejakmu dapat kutemukan. Namun kau seperti menghilang ditelan bumi, dan kota tak memperlakukanku dengan baik. Aku frustasi Mar….ke-tidakramahan kota masih bisa kutanggung, namun menyadari kehilanganmu untuk selamanya membuatku merasa terdepak dan tak diinginkan oleh dunia…”
Aku hanya mampu diam, tak dapat kujelaskan bagaimana dulu kudapati kedua orang tuaku menyita dan membakar surat-surat yang Yusuf kirimkan.
“aku kembali kekampung Mar, kuyu seperti seorang panglima yang kehilangan panji dan dipermalukan diarena pertempuran. Di kampung aku mengolah sebidang tanah warisan emak yang tak seberapa, merintis usaha kelontong kecil-kecilan. Lalu ada seorang Haji kaya raya yang mencari lelaki untuk dijadikan menantunya, untuk menutup aib yang dicorengkan anak perempuannya didahinya. Aku terima Mar, karena bagiku hidupku adalah kehampaan, dan jiwaku sudah lama mati…”. suara Yusuf bergetar….ada setitik air disudut mataku yang kutahan agar tak tumpah. Yusuf meraih pundakku, saling berhadapan, saling menatap lekat…..
“aku membeli tanah ini Mar, semata untuk mengekalkan kenangan akan kamu yang masih tersisa. Karna sampai saat inipun tak beres-beres ingatanku untuk menghapusmu. Ditanah ini aku berencana membangun sekolah Taman kanak-kanak, menampung bocah tak berpunya, tanpa memungut iuran wajib. Seperti cita-citamu dulu Mar…..”. bulir-bulir air itu tak mampu kutahan lagi, ia luruh perlahan menelanjangi perasaanku yang kututup-tutupi. Ibu jari dari sebuah tangan kasar menghapusnya….sunyi….aku tak ingin memperpanjangnya.
Ketika senja hampir usai, aku beranjak meninggalkan Yusuf, laki-laki itu terjejer dibelakangku dengan segala diamnya, sepanjang jalan pulang tak ada percakapan, seakan tak ada udara yang dihirup dan dilepas. Jika sesekali kakiku terpeleset ketika melintasi pematang, tangan Yusuf menyanggaku…sesaat, kami saling menepis….diam….
Sesampai didepan pintu pemakaman, dimana motor Yusuf terparkir semula. Aku hanya bisa menyeru namanya perlahan…
“Suf….ak…” sebuah bibir melumat ujung bibirku lembut, menghentikan kata yang ingin kuujar. Untuk sesaat jantungku serasa berhenti berdetak.
“tak usah kau katakan apa-apa Mar….aku tahu semua adalah masa lalu, aku hanya ingin kau tahu bahwa aku tak pernah berhenti mencintaimu, sampai saat ini’
“maaf Mar, aku tak bisa mengantarmu pulang….aku tak ingin orang kampung mendapat bahan obrolan untuk mereka gunjingkan, tahu sendiri tabiat mereka. Salam ya buat uwak…..salam juga buat keluargamu dikota”. Kami berpisah….dalam ketercanggungan….sama seperti tadi ketika kami kembali bertemu. Motornya menjauh meninggalkanku.
Keesokan paginya, sebuah becak mengantarku ke terminal. Ketika melintas didepan sebuah toko kelontong yang besar, ditengah riuhnya suasana pasar. Seorang laki-laki memanggul bocah perempuan kecil dipundaknya. Laki-laki itu melambai dan tersenyum padaku….aku membalasnya, lalu membuang pandangan kedepan dan tak lagi menoleh kebelakang. Suara derit becak terngiang-ngiang ditelingaku, berkejaran dengan deru nafas sang pengayuh yang tersendat-sendat karena beban muatan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cerpen " Sahabat atau Cinta"

Pagi yang mendung, aku segera merapikan dasiku. yang ber-motif kotak-kotak warna biru. dangan kemeja berompi kotak-kotak biru, dan rok di bawah lutut kotak-kotak biru juga. Di rompi nya terdapat kantong ber logo SMA Harapan Jaya.
Aku langsung pamit kepada mama dan papa. Aku segera meraih kunci mobil, dan mengemudikan mobil Honda Jazz merah.

Sesampainya di sekolah, aku memarkirkan mobilku di tempat parkir. Tak lama, seorang perempuan sebaya denganku berdiri di depan mobilku, seperti menungguku. Dia adalah Priska. Sahabatku.
“Hei, ngapain lo berdiri doang di situ? Hahaha… kaya patung tau gak sih lo, konyol!” ledekku. Dia langsung merangkulku. “Yuk ah, ke kantin dulu! gua laper.” ajakku.
Di kantin, aku dan Priska memesan satu porsi roti bakar. dan satu air mineral.
“EH, mana si Angel? belom nongol muka nya?” tanyaku.
“Tau tuh La, mungkin dia lelah. hahahha…” candanya.
TENG! TENG! TENG! bel berbunyi, aku segera menghabiskan rotiku itu dan langsung bergegas ke kelas. Saking terburu-burunya, dari arah yang berlawanan, aku menabrak seorang cowok.
“Aww… lo pake mata dong kalo jalan!?” bentak cowo itu.
“Aww? cowo? ngeluh? What? banci lo!” aku tak menghiraukan kata-kata cowok itu, aku langsung berlari lagi ke kelas.

Di kelas… “What, belum ada gurunya Pris? Angel juga mana?”
“Iya nih, tumben Angel telat, biasanya enggak.” jawabnya.
“Duduk aja yuk sambil nungguin Angel.” akhirnya, aku duduk di samping Priska. (DI SMA kami, boleh duduk di mana saja). kami berbincang-bincang. Tak lama setelah itu, bu Nada masuk dengan membawa anak baru dan.. ANGEL! Angel bersama anak baru itu. dan anak baru itu adalah, cowo yang tadi aku tabrak. Oh My God. Angel di persilahkan duduk oleh bu Nada. Angel duduk dengan Santy, di belakangku. sebenarnya sih, dia pasti ogah sama Santy. Karena Santy pendiem, gak seru, pemalu pula. tapi otaknya encer.
“Class. seperti yang kalian tahu, hari ini, akan ada murid baru. Rio, silahkan perkenalkan dirimu.” kata Bu Nada.
“Terima kasih bu,” kata anak itu. “Hai semua, nama gue Rio. lengkapnya, Rio Velano Saputra. gue pindahan dari SMA Galaxy.” cowo itu tersenyum padaku.
“ihh.. amit-amit cabang bayi deh gue.” gumamku.
“Baik anak-anak, ada pertanyaan tentang Rio?” tanya bu Nada.
“Saya bu! Rumahnya dimana? mungkin lain kali saya bisa ngujungin.” kata seseorang, yang tidak lain adalah PRISKA?
“Lo malu-maluin ih!” kataku.
“Gapapa dong, blee..” ia menjulurkan lidahnya, aku hanya menggeleng-gelengkan kepala.
“Rumahku, ada di Jl.Samudra 3 blok A1 nomor 4.” jawabnya.
Whatttt? Ga mimpi kan gua? rumah dia di sebelah rumah gua? batinku dalam hati.
“Ya sudah, Rio silahkan duduk di dekat… Vino.” kata Bu Nada. Depan Vino? apa? berarti dia duduk di depanku. Ya tuhan…

Ia menarik bangku di depanku. sampai, mejaku terdorong mengenai perutku.
“Heyy… gila lo ya, perut gua sakit tauu…” kataku.
“Aduh, gantian ya, tadi lo nabrak gua, sekarang, gua yang harus bales.” katanya penuh kemenangan.
“Ehh… udah lah, dia itu sebenernya baik kok, ya kan my Prince…” Hmm.. kelihatannya Priska jatuh cinta pada Rio, baguslah. Tapi kenapa tiba-tiba jantungku berdetak kencang? aku abaikan saja rasa ku itu.

TENG! TENG! TENG!
Aku segera berlari menuju kantin diikuti oleh Angel dan Priska.
“Eh, girls, sebenernya Rio itu sepupu gua.” kata Angel.
“Hah? Sepupu lo Ngel?” kaget Priska. sebenarnya, aku juga kaget. Tapi, aku biasa saja.
“Iya, jadi tuh, papa dia adiknya mama gua. Ya… agak jail gitu deh,” kata Angel sambil mengaduk-ngaduk jus jeruknya dengan sedotan.
“Pantes tadi dia ngelirik gua,” kataku sambil mengunyah baksoku.
“Vina! Maksud lo, dia suka sama lo?” tanya Priska. Nadanya agak keras.
“Gak juga.. tapi, kenapa lo kaya marah Pris?” kataku heran.
“Gimana gua, gak marah, gua suka sama dia, lo jangan ambil dia!” katanya kembali duduk.
“tenang aja, gua gak akan ngambil dia kok.” kataku santai.
“Janji lhoo…” Deg. Jantungku berdetak lagi, seakan takut dengan kata-kata ‘JANJI’ aku merasa aku tidak bisa berkata Janji karena seolah-olah aku suka pada Rio dan tak dapat meninggalkannya.
“Kenapa ngelamun?” kata Priska menyadarkanku dari lamunanku.
“Ah..e..enggak, ya udah, gua cabut duluan ya?” aku segera bangkit dan menuju kelas.

Di kelas, aku hanya mendapati Rio seorang. Hampir saja ketahuan kalau aku masuk kelas, aku lalu bersembunyi di balik pintu.
“Kalo lo mau masuk, masuk aja.” kata Rio. Hah? kok dia bisa tau? batinku. aku memasuki kelas.
“Jadi, lo tau gua sembunyi?” tanyaku.
“Pengelihatan gua gak rabun. Vina!” katanya menyebut namaku di akhir kalimat.
“Kok lo tau nama gua?” tanyaku terheran-heran.
“Dari Angel,” jawabnya santai.
“Ih..” aku langsung duduk di tempatku. lalu, ia membalikkan wajahnya ke belakang.
“Sayang banget ya, lo cantik tapi.. jutek, bikin lo makin lucu.” kata dia sambil melihat mataku dalam-dalam. Aku jadi salting, malu. Deg. jantungku berdetak lagi.
“i..ii..hh.. apaan sih lo,” kata ku sambil memalingkan wajahku.
lalu, dia memegang tanganku. sebenarnya, aku ingin menariknya tapi…
“Ooh… ini yang namanya gak akan ngerebut Rio dari gua?” bentak Priska.
“Pris..priska!” Priska lari dibuntuti oleh Angel.
“Eh, cowo sialan! gara-gara lo, sahabat gua jadi marah, lepasin tangan gua!” kataku sambil melepaskan genggamannya.

Aku lalu mengejar Priska ke kamar mandi.
“PRISKA?” kataku.
“Ngapain lo datengin gua? puas lo ngambil Prince gua? dulu lo ambil Reno dari gua. sekarang? lo mau ambil Rio? belom puas lo liat gua tersiksa?” kata Priska sambil terisak-isak.
“Priska, gua gak bermaksud ngambil dia, lo harus dengerin gua dulu.” kataku.
“Apa? Apa yang harus gua denger? alasan konyol lo waktu lo ngerebut Reno? Lo bilang dia yang deketin lo? Ha?” bentak Priska.
“Pris.. udah Pris, nanti asma lo kambuh..” kata Angel. “Vina, lo cabut dulu deh, biar dia tenang dulu.” kata Angel. Aku menganggukan kepala, saat ingin meraih gagang pintu. Terdengar suara Priska, yang sepertinya Asma-nya kambuh. “PRISKAAAAA!!!”

Aku dan Angel segera membopong Priska keluar dari toilet dan membawanya ke UKS.
“Ngel, di tas bagian depan Priska ada obat asmanya. cepet ambil!” perintahku. Angel segera berlari secepat kilat ke kelas, dan mengambil obat asma Priska.
“Nih,” TENG! TENG! TENG! tepat Angel berkata ‘NIH’ bel istirahat usai berbunyi. Aku segera menyemprotkan obat asma-nya kedalam mulutnya. akhirnya dia sadar juga.
“Loo…uhuk..uhuk…”
“Udah lah Pris, lo istirahat ya,” kataku.
“gua ga mau liat muka lo lagi Vin,” katanya. “Lo tuh munafik sama sahabat sendiri.” katanya. Aku kaget bukan kepalang, dia tega berkata kaya gitu.
“Kok lo tega sih sama gua?” tanya ku,
“Lebih tega mana? Lo atau gua?” dia balik bertanya.
“Udah.. udah, Vin, gua minta lo ke kelas dulu ya..”

Sementara di kelas sudah ada pak Gustin.
“Kemana ini, Priska, Vina, dan Angel?” tanya pak Gustin. Rio yang sedang asyik membaca buku menjawab pertanyaan pak Gustin.
“Tadi sih,,” belum sempat melanjutkan, aku sudah di ambang pintu. “Itu dia pak!”
“Kamu dari mana saja Vina? telat 10 menit!”
“Itu pak, anu.. ”
“mungkin dia malu ngeliat kegantengan saya pak..” kata Rio ke-PD-an.
“Cihuyyyy…” koor semua anak.
“Ihh… awas lo!” kataku. “Tadi pak, asma-nya Priska kambuh…”
“ASMA? PRISKA?” sontak Leo kaget mendengarnya, ya Leo adalah anak cowo yang suka sama Priska.
“Ya sudah, kalau begitu, bapak mau ke UKS dulu deh, pelajaran jam ini kosong,” Pak Gustin menuju keluar kelas.

“Cantikk…” goda Rio.
“Apa lo? Jangan cari mati ya lo,” kataku mendelik. “Jutek banget sih lo,”
“Mang napa? Masalah gitu?” kataku.
“Masalah banget, lo kan cewek gua.” kata Rio kepedean.
“Udah jadian nih?” Vino ikut nimbrung.
“Isshh…” aku pindah ke tempat Angel. Rio malah duduk di bangku ku dan mengambil secarik kertas.
“Ehh, mau ngapain lo!? sini balikin nggak!” kataku. Ia mengangkat tangannya sehingga aku tidak dapat meraihnya. Huft akhirnya dapat juga.

TENG! TENG! TENG! bel pulang berbunyi. Aku mengajak Angel untuk pulang bareng karena dari tadi, dia belum di jemput. kalau Priska sudah pulang duluan sejak pelajaran pak Guntur.
“Berarti gue ikut,” kata Rio seenaknya. “HAH? ELO? IKUT?” kataku dengan suara tinggi.
“Iya lah, gua kan sepupunya Angel, masa Angel enak naik mobil, gua jalan kaki.” katanya. Aku menatap Angel. Angel hanya mengangkat bahu. “Haaahh… ya udah deh ah,” kataku. aku segera membuka pintu mobil. Aku sudah duduk di jok supir. Aku melihat Rio membuka pintu depan, ku kira ia membukakan pintunya untuk Angel ternyata dia yang duduk di sampingku.
“Lho? kok lo yang di depan? harusnya Angel!” kataku tak sudi sahabatku di belakang.
“Gue kan mau deket lo,” katanya sambil merangkulku. Krekkk… aku memutar tangannya hingga bunyi.
“Argghh… macho juga lo jadi cewek.” katanya sambil merintih kesakitan.
Aku hanya terkekeh melihatnya.

Malamnya, aku duduk di kursi balkon. Aku teringat kejadian di sekolah tadi, bertabrakan dengan Rio, dia menggenggap tangannku dan ya, banyak lah. Tapi, sebuah masalah terlintas di benakku.
“Ah, tapi bagaimana dengan Priska? Dia begitu mencintainya.” aku berpikir terus menerus. SAHABAT ATAU CINTA?
Tin..Tin.. sebuah mobil tanpa atap berwarna merah parkir di depan rumahku. Krekk… bik Nuni membuka pintu kamarku. “Non, ada tamu tuh,”
“Siapa bi?” tanyaku. “Ga tau tuh non, soalnya pakai kacamata.” jawab bi nuni.
“Ya udah bi, suruh tunggu bentar.” kataku sembari menyuruh bi Nuni keluar dari kamarku. Aku segera berganti pakaian menjadi, celana jeans, dan baju Casual dan memakai sepatu Nike, sehingga berkesan dewasa. tidak lupa aku memasukkan BB-ku kedalam kantong. Lalu, aku segera turun ke bawah.
“Bik, aku pergi ya, sama temen.” pamitku. Karena di rumah gak ada papa dan mama.
Lanjutt
“Lo siapa?” tanyaku.
“Naik dulu.” pintanya, aku bertanya dia siapa karena ia memakai topi dan kacamata sehingga wajahnya tertutup.
“Setelah itu, mobilnya berjalan melaju dengan kecepatan sedang. Lalu, ia membuka kacamatanya.
“gua Rio.” katanya. aku sontak langsung kaget, dalam hati berkata ; begoo… bego.. emang gua, harusnya gua lebih teliti. “Turunin gua gak!” kataku. “Kalo gak, gua bakalan lompat.” ancamku. “Silahkan aja lompat, siapa sih, orang yang mau ngelakuin hal sekonyol itu?” katanya dengan senyuman penuh kemenangan.
bener juga ya, mana ada orang mau lakuin hal sekonyol itu. pikirku dalam hati.
“Gak jadi kan,” katanya. Ciiiiitt… ia menginjak rem dan memarkirkan mobilnya di depan Starbucks Cofee.
“Lo mau makan di sini?” tanyaku.
“Dimana lagi, gua mau sama lo.” katanya sambil membukakan pintu di sampingku.
“Makasih,” kataku masih tetap cuek. Aku berjalan menuju meja. meja yang tidak terlalu jauh dari pintu keluar. Aku yang memilihnya di situ. jadi, kalau aku di apa-apain, aku bisa tinggal lari dengan sepatu sport ku ini. :D . dia memesan beberapa menu yang telah ku pilih. Lalu, sambil menunggu, dia mendekatiku.
“Gaya lo, berkesan remaja dan mandiri banget. gua makin suka sama lo.” katanya. Aku langsung tersentak kaget. lalu, ia berkata lagi. “Lo pasti mau jadi pacar gua.” katanya. aku makin deg-degan antara bingung dan bimbang.
Dia masih menggenggam tanganku dan hingga akhirnya. “Vina?!” teriak Priska yang menyadarkanku dari lamunanku.
“Pri…ss..kaaa!!!” aku segera mencegat Priska.
“Apa lo? puas? Hah? sekarang lo ga bisa bohong lagi sama gua! Lo munafik!” dia terus berlari, menyebrang jalan. Di belakangku ada Rio yang mengejarku. Aku tak memperdulikannya. Aku berlari menyebrang jalan, tapi… Tiiiinnn… tiiinn… sebuah mobil minibus menabrakku. Kini, pikiranku tak karuan.. aku hanya mendengar suara-suara yang meneriakanku dan beberapa orang mengelilingiku. terasa kepalaku seperti mengeluarkan cairan, hidungku, telingaku.

-SKIP-
Aku membuka mataku secara perlahan. ku lihat seseorang tertidur pulas di sofa. “Rio?” kataku pelan. “Vina.. lo udah sadar?” katanya.
“Mana mama dan papa?” tanyaku. “Mama sama papa lo lagi lagi perjalanan ke sini,” katanya. “Nih, minum. Sehat kok.” katanya sambil memberikan segelas air kelapa muda murni. Krekk.. pintu di buka seseorang. “Priska?” kagetku. “Maafin gua Vin, gua udah bersikap kasar sama lo semenjak ada dia.” katanya sambil menunjuk si Rio.
“Iya, gapapa. gua ngerti kok.” kataku. Krekk.. seketika pintu di buka lagi oleh seseorang. “MAMA? PAPA? ANGEL?” aku tersenyum melihat mereka mengunjungiku.
“Alhamdulillah nak, kamu selamat.” kata papa dan mama.
“Maaf om, tante. ini emang salah Priska. Priska terlalu egois sampe-sampe nggak peduli sama Vina yang ngikutin Priska dari belakang.” kata Priska tertunduk. Mama dan Papa bertatapan sebentar lalu tersenyum, “Nak Priska, ini bukan salah kamu kok, ini emang Vina-nya aja yang suka nekat.” kata Mama.
“Bener tante? Tante gak marah?” tanya Priska meyakinkan.
“Iya,” jawab mama. Aku melirik pada Rio yang tengah asik membaca bersama Angel. aku tersenyum padanya, ternyata dia juga melihat aku. Aku jadi salah tingkah.

Jam 12.00 siang, mama dan papa sudah pulang, kini hanya ada aku, Priska, Angel, dan Rio.
“Vin, bisa gua ngomong sama lo?” tanya Priska. Angel dan Rio keluar dari ruangan.
“Vina, sekarang, gua udh bisa ngerelain Rio untuk lo.” katanya sambil meneteskan air matanya. “Sekarang, gua percaya, gua yakin, kalo gua sayang sama Rio, gua harus bisa buat dia bahagia.” katanya lagi.
“Tapi Pris.. gua tau, lo suka, sayang plus cinta banget sama Rio.”
“Iya emang, tapi, apa boleh buat? sahabat gua juga suka sama dia. :) ” katanya sambil tersenyum.
“Rio!!” panggil Priska. Rio pun masuk keruangan.
“Apa Pris?” tanya Rio. “Sekarang, lo bisa jadian, detik ini, menit ini, jam ini, hari ini, bulan ini, tahun ini juga sama sahabat gua.” katanya tersenyum tulus. “Angel!” kemudian ia memanggil Angel. Angel pun masuk. “Angel, kita jadi saksi jadiannya Rio dan Vina. RiVi!” kata Priska.
“Setuju!” angguk Angel.
“Beneran lo?” tanya Rio seneng.
“Beneran,” kata Priska.
Rio mulai membuka mulutnya, “Vina, lo mau enggak jadi pacar gua?” tanya Rio.
“Hah? Eh..ngngng.. mau gak ya…?” kataku iseng. “Kalo gak mau gimana?”
“Kalo lo gak mau, gua akan lompat dari menara Eiffel.” katanya.
“Orang konyol macam apa sih lo? Mana ada orang yang mau lompat dari menara Eiffel,” balasku.
“Hmm…”
“gua mau!” kataku Mantap.. akhirnya kami berdua jadian saat itu.

Sebulan lebih, aku mengawali hari-hariku setelah 1 minggu di rumah sakit, di temani Rio dan kedua sahabatku, akhirnya aku bisa keluar dari kesunyian serta kebosanan yang aku alami.
Dulu, aku sempat bertanya, ‘SAHABAT ATAU CINTA?’ kini, aku tahu jawabannya. Aku mendapati kedua-duanya. A Story Always Happy Ending. :D

Cerpen Karangan: Annisa Tabriza Diva Kusuma
Facebook: Annisa Tabriza

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS